PELANGGARAN ELEMEN JURNALISME OLEH WARTAWAN JAWA POS




Menjadi seorang jurnalis dituntut untuk menyajikan berita yang tercepat, terdepan, dan terakurat. Namun atas dasar kepentingan sepihak, jurnalis sering kali lupa akan kode etiknya untuk menyajikan berita berdasar kebenaran. Jurnalis seakan terlena untuk menjadi media yang mampu memberikan berita lebih cepat dibanding media lainnya. Hal ini membuat jurnalis lupa bahwa mereka juga dituntut menyajikan berita yang terakurat. Karenanya, media hanya menyajikan berita yang tercepat dan terdepan, namun aspek akurasi dalam berita tersebut dikesampingkan terlebih dahulu.

Akurasi sebuah berita juga kerap dilupakan oleh jurnalis karena mementingkan ambisi sepihaknya demi popularitas, entah popularitas pribadi atau popularitas instansi. Ambisi akan popularitas ini diwujudkan dengan cara memilih topik berita yang mampu menarik perhatian banyak pembaca. Memang sudah kewajiban seorang jurnalis untuk membuat berita yang menarik, namun tetap bahwa akurasi dalam berita tersebut tidak boleh disingkirkan.

Jurnalis yang mengesampingkan akurasi demi popularitas instansi pernah dilakukan oleh wartawan Indonesia, yaitu Rizal Husein dari Harian Jawa Pos. Pada 3 Oktober 2005, Jawa Pos mempublikasikan sebuah artikel berjudul "Kasihan, Warga Tak Berdosa Jadi Korban". Artikel tersebut dibuat berdasarkan wawancara sang wartawan dengan istri dari buronan tersangka teroris, Dr.Azahari. Satu bulan kemudian, Jawa Pos kembali mempublikasikan hasil wawancara wartawan yang sama (Rizal Husein) dengan Nur Aini berjudul "Istri Doakan Azahari Mati Syahid". Jawa Pos mengklaim bahwa wawancara tersebut merupakan wawancara eksklusif via telepon karena Nur Aini berada di Johor, Malaysia.

Satu hal yang perlu dipertanyakan dari kebenaran wawancara tersebut, bahwa Nur Aini menderita kanker thyroid yang mengakibatkan gangguan dalam berbicara. Kebohongan rizal Husein tersebut mulai terkuak saat stasiun televisi Trans TV menayangkan tayangan ekslusifnya bersama Nur Aini di Johar, Malaysia. Benar saja, Nur Aini yang saat itu diwawancarai tidak dapat berbicara dengan jelas. Nur Aini pun hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan bantuan kertas sebagai medianya untuk menulis. Jawa Pos segera mengonfirmasi hal tersebut, dan Rizal mengakuinya. Ternyata selama ini berita yang terlanjur dipublikasikan tersebut adalah hasil fiktif dan rekayasa dari Rizal Husein. Karena kejadian ini, Rizal dipecat tanpa ampun dari Jawa Pos. Kepada Jawa Pos Rizal mengatakan bahwa tidak ada itikad buruk apa pun. Ia hanya ingin Jawa Pos menjadi media terdepan dalam pemberitaan terkait terorisme. Dalam kasus Rizal Husein tersebut, terlihat bahwa ia hanya mementingkan aspek ketercepatan dalam pemberitaan serta popularitas instansinya ketimbang akurasi yang terkandung dalam berita tersebut.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menerbitkan buku tentang Sembilan Elemen Jurnalisme (disempurnakan menjadi sepuluh). Buku ini berisikan dasar-dasar apa saja yang harus diperhatikan seorang jurnalisme dalam meliput kejadian dan menyajikannya kepada masyarakat. Berikut adalah hasil analisis dari elemen jurnalis mana saja yang telah dilanggar oleh Rizal Husein dalam kasus diatas.




Kewajiban Pertama Jurnalisme adalah pada Kebenaran
Secara kasat mata terlihat bahwa Rizal Husein melanggar atau mengesampingkan elemen jurnalisme tersebut. Dalam kedua berita yang dipublikasikan, jelas bahwa Rizal hanya mengarang dan merekayasa hasil wawancaranya dengan Nur Aini. Jangankan mengarang hasil wawancaranya, wawancara tersebut saja bahkan tidak pernah terlaksana. Maka sudah pasti bahwa Rizal tidak melakukan kewajiban pertamanya sebagai jurnalisme, yaitu memberikan kebenaran kepada publik. Berita yang ia sampaikan tidak didasarkan pada kebenaran. Bukan hanya kepada publik ia berbohong, namun juga kepada instansi. Dengan tidak jujur Rizal Husein menyerakan hasil wawancara yang telah direayasanya.




Loyalitas Pertama Jurnalisme adalah kepada Warga Masyarakat
Loyalitas utama sebagai seorang jurnalis adalah dengan mengutamakan kepentingan masyarakat untuk mendapatkan kebenaran. Isi berita yang benar adalah tidak memihak suatu organisasi atau instansti mana pun. Dalam kasus di atas, Rizal Husein terlihat jelas bahwa telah mengesampingkan aspek kebenaran dalam isi beritanya. Hal ini juga mengindikasikan bahwa Rizal tidak mengutamakan kepentingan masyarakat dalam memperoleh berita kebenaran. Ia justru mengutamakan kepentingan instansinya (Jawa Pos) agar menjadi media yang terdepan dalam pemberitaan terorisme. Atas kepentingannya ini, Rizal memasukkan berita hasil karangannya dan bahkan telah tersebuar luas dalam masyarakat.



 


Inti Jurnalisme adalah Disiplin untuk Melakukan Verifikasi
Dalam mencari informasi, jurnalis secara profesional harus memverifikasi informasi apa saja yang diterimanya dengan cara mencari saksi, meminta komentar, atau mencari sumber sebanyak-banyaknya. Dalam kasusnya, Rizal Husein telah membuat dua berita yang tidak bersumber dari mana pun. Ia mengandalkan daya imajinasi dan hayalannya untuk menyajikan sebuah berita yang mampu menarik banyak minat masyarakat. Berita yang dibuat adalah hasil karangan, pun demikian dengan sumber yang tercantum. Hal ini jelas bahwa Rizal Husein tidak melakukan disiplin verifikasi dalam pemberitaannya. Jangankan untuk memverifikasi, bahkan sumbernya saja adalah hasil rekayasa.

Jawa Pos selaku media yang mempublikasikan berita tersebut juga lalai dalam melaksanakan elemen jurnalisme tersebut. Berita yang telah dibuat lewat begitu saja oleh Jawa Pos dari proses editing. Memang benar bahwa proses peluncuran sebuah berita dilakukan dengan sangat cepat. Tetapi Jawa Pos adalah salah satu media cetak besar di Indonesia, yang mana kejadian fatal seperti ini harusnya bisa dihindari dengan melakukan verifikasi data dan sumber terlebih dahulu.




Jurnalisme Harus Berusaha Membuat yang Penting menjadi Menarik dan Relevan
Seorang jurnalis harus bisa membuat berita yang penting menjadi menarik dan relevan agar masyarakat mau membaca berita tersebut dengan tujuan untuk memperluas pandangan masyarakat. Jika suatu barita penting ditulis dengan tidak menarik, maka pesan yang ingin disampaikan mlalui berita tersebut tidak akan sampai pada pembacanya. Dalam hal ini Rizal Husein berhasil membuat berita yang menarik dan relevan untuk saat itu (terorisme). Namun sayangnya berita yang dibuatnya tidaklah penting. Rizal hanya membuat berita yang menarik minat pembaca, dan ia berhasil. Unsur pentingnya isi berita tidak ada dalam dua artikel yang telah dipublikasi sebab berita tersebut adalah hasil rekayasa dari Rizal Husein.




Wartawan itu Memiliki Kewajiban Utama terhadap Suara Hatinya
Apabila seorang jurnalis mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres, ia harus berani menyuarakan suara hatinya. Hal ini berkaita dengan rasa etik dan taggung jawab yang dimiliki seorang jurnalis. Dalam kasusnya, Rizal Husein tidak mau menuruti suara hatinya untuk bersikap jujur. Ia tahu dan dengan kesadaran penuh tetap melakukan kebohongan publik. Bahkan artikel yang dipublikasikan tidak hanya satu. Rizal Husein pasti memiliki hati nurani meski sekecil apa pun, terbukti dalam pernyataannya yang menyatakan bahwa ia tidak mempunyai itikad buruk namun hanya ingin menjadikan Jawa Pos sebagai media terdepan. Sayangnya hati nurani yang dimilikinya ini tidak digunakan dalam perilisan dua artikelnya yang hasil rekayasa. Meski menyadari bahwa perbuatannya salah dan melanggar etika, ia tetap melanjutkan kebohongannya demi kepentingan sepihak.





Komentar

  1. Permisi, maaf sebelumnya. Nisa mau nanya, apa masih ada foto korannya kak? Jika masih ada, boleh diinbox atau diemailkan ke Nisa? Nisa lagi butuh untuk tugas. Terimakasih sebelumnya :)

    BalasHapus

Posting Komentar